Rabu, 18 Juli 2007

Bekal Diri Di Bulan Suci


Sabtu, 02 November 2002


Bekal Diri Di Bulan Suci


Sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, suatu bulan yang penuh dengan ampunan dan keberkahan dari Allah swt. Sepatutnya kita pun berharap dapat menyongsong serta menjalaninya dengan sebaik-baiknya agar kita mampu mencapai derajat taqwa di sisi Allah swt.

Banyak di antara kita telah melewati bulan Ramadhan sejak dari usia kanak-kanak sampai dewasa. Setiap tahun kita jalani bulan Ramadhan itu dengan berpuasa dan melaksanakan ibadah-ibadah yang dianjurkan. Akan tetapi sudahkah kita benar-benar mampu menjadikan bulan ramadhan itu sebagai momen bagi kita untuk mengejakan amal shalih yang mampu menjadi jalan untuk mencapai keridhoan Allah swt ?

Uraian berikut ini mudah-mudahan menjadi bermanfaat untuk kita agar menjadikan segala aktifitas ibadah di bulan Ramadhan ini menjadi amal shalih yang diterima Allah swt, insya Allah.

Pertama; Hendaknya kita jadikan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya di bulan suci tidak hanya sekedar rutinitas, tetapi landasi dengan pemahaman yang benar tentang ibadah tersebut. Hal ini mutlak untuk kita pahami dengan benar sebelum kita melaksanakannya. Misalnya kita harus memahami bagaimana tata cara berpuasa, mulai dari hukum-hukum yang mewajibkannya , sunah-sunahnya, dan yang dibolehkan (mubah), sampai yang diharamkan serta yang dimakruhkan dalam berpuasa.
Semua pengetahuan tentang ibadah-ibadah di bulan suci sangat mudah dan banyak kita dapatkan, mulai dari setiap media massa, buku-buku, ceramah-ceramah agama, bahkan sampai dari pelajaran-pelajaran di sekolah. Akan tetapi yang harus diperhatikan dari banyaknya sumber-sumber itu adalah ke-shahih-annya. Hal ini yang membutuhkan penelaahan yang lebih mendalam dan harus dikaji dengan seksama. Agar tidak kacau atau
'menyimpang' pengetahuan kita tentang ilmu yang berkaitan dengan ibadah kita itu, kita bisa mengujinya dengan memikirkannya melalui pola pemikiran yang sangat mendalam dan jernih disertai dengan kesadaran dalam mempelajarinya. Dan bila kita belum sanggup, karena membutuhkan pengetahuan penunjang yang sangat banyak seperti bahasa arab, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh dan lain sebagainya, kita harus merujuk kepada
pemikiran para mujtahid yang terkenal dan telah terpercaya serta teruji dikalangan ulama Islam.

Misalnya seperti Imam Syafi'I, Imam Ahmad, Imam Hanafi dan Imam Maliki. Buku-buku fiqih para imam tersebut telah banyak beredar, baik yang masih berbahasa asli ataupun terjemahannya.
Mengikuti mereka bukanlah suatu yang memalukan bagi kita, karena mereka lebih layak kita ikuti ketimbang orang yang mengaku ulama dan sembarangan dalam melakukan ijtihad yang kita ikuti. Dengan alasan pendapatnya lebih mudah kita jalani. Ini semua karena masalah ini adalah masalah agama yang mengandung konsekuensi pahala dan dosa bagi yang salah dalam menjalani suatu hukum. Tetapi bila yang diikuti itu mampu berijtihad dengan benar walaupu hasil ijtihadnya salah maka tetap akan mendapatkan pahala. Semua itu adalah dalam waktu yang sementara sampai kita mampu mencapai derajat mujtahid seperti mereka, atau sampai akhir hidup kita tetap menjadi pengikutnya karena ketidakmampuan kita.
Dalam mengikuti pendapat mereka dalam satu hukum tertentu haruslah secara utuh dalam satu perkara yang kita kaji atau akan kita ikuti. Misalnya kita mengangikuti fiqih Imam Syafi'I dalam ibadah puasa, maka seluruh ketentuannya harus kita ikuti dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang teringan sampai yang terberat. Kita tidak boleh mengambil atau mengikuti suatu hukum menurut kesenangan kita saja (hawa nafsu), seperti hanya mengambil yang ringan- ringan dan yang mudah-mudah saja dari para imam
mujtahid itu. Bila ini terjadi maka kita termasuk mengikuti hawa nafsu kita. Begitu juga bila kita mengikuti ulama-ulama yang hanya sekedar meringankan dan menyenangkan kita dalam urusan agama dengan ijtihadnya sendiri padahal dia belum layak untuk berijtihad.

Yang juga penting dari point pertama ini adalah semua pengetahuan ibadah di bulan suci yang kita miliki atau dapati ini harus kita usahakan untuk diterapkan semaksimal mingkin. Tentu tidak akan menjadi amal shalih apabila kita mengetahui betapa utamanya shalat tarwih di malam bulan ramadhan akan tetapi kita tidak melaksanakannya, begitu pula yang lainnya.
Kedua; hendaknya kita jadikan segala ibadah di bulan suci ini dengan landasan keimanan. Tanpa adanya keimanan kepada Allah swt, maka ibadah seseorang akan menjadi sia-sia. Maksudnya adalah segala aktifitas ibadah yang kita lakukan harus disadari semuanya itu adalah perintah Allah swt, bukan sekedar ikut-ikutan atau yang lainya. Harus kita paksakan pada diri kita selama mengerjakan ibadah itu senantiasa berada dalam suasana keimanan (jawwul iman). Yaitu dengan selalu sadar bahwa kita adalah makhluk Allah dan hanya karena Allah-lahkita melaksanakan perintah Nya ini. Dengan kata lain harus ada dalam ibadah itu keikhlashan yang murni yang senantiasa hadir dalam benak kita akan hubungan kita dengan Allah swt, yaitu hubungan makhluk
dengan penciptanya.

Suasana keimanan yang melingkupi kita dalam melaksanakan ibadah puasa dan ibadah lainnya, akan menjaga diri kita untuk selalu jujur pada diri kita sendiri dan rela berkorban demi keimanan. Karena ibadah puasa adalah ibadah yang hanya Allah yang tahu dan akan memberikan penilaiannya. Sehingga kualitas ibadah puasa kita tidak bisa terukur oleh orang lain bahkan oleh diri kita sendiri, kecuali Allah swt semata. Walhasil, menjaga diri dengan suasana keimanan adalah keharusan yang mutlak bila kita ingin ibadah kita diterima-Nya.

Ketiga; hendaknya harus diraih nilai ibadah dalam melaksanakan segala ibadah di bulan suci ini. Setiap perbuatan seorang muslim haruslah menjadi perbuatan yang bernilai produktif dan tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu pada saat kita melaksanakan ibadah, yang pada zahirnya adalah perbuatan gerak badan dan pikiran kita, harus diraih nilai (qimah) yang kita dapatkan.

Nilai ibadah bukan berbentuk materi, seperti berniaga yang akan mendapatkan keuntungan materi. Begitu juga nilai ibadah bukan untuk mendapatkan akhlak yang baik, yang hanya kita rasakan bila kita melakukan akhlak terpuji. Nilai ibadah juga bukan nilai yang bersifat manusiawi, yang harus kita raih bila kita menolong sesama manusia tanpa melihat suku, agama, ataupun ras seseorang. Akan tetapi nilai ibadah bersifat ruhiyah yaitu taqorrub ila llah, mendekatkan diri kepada Allah. Inilah nilai ibadah yang harus kita raih dalam beribadah.

Segala rangkaian ibadah di bulan suci ini hendaknya menjadikan diri kita dekat kepada Allah swt. Segala janji pahala yang berlipat yang akan diberikan oleh Allah swt hendaknya dijadikan sebagai motifator kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Seorang muslim yang merasa dekat dengan Allah swt tentu akan berusaha melaksanakan segala perintah Allah , tidak lagi menghiraukan perbuatan itu berat atau ringan. Juga
akan selalu menjauhi larangan Allah swt, senikmat apapun, menurut hawa nafsunya, larangan itu tentu akan dijauhinya.

Bila nilai ibadah ini telah tertanam dalam jiwa seorang muslim tentu tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah swt semata. Sehingga walaupun kematian menjemputnya dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya maka akan dirasakan sebagai nikmat yang sangat besar dan akan segera mempercepat dirinya untuk bertemu dengan Kekasihnya, Allah swt.
Ketiga hal di atas harus senantiasa ada pada saat kita melaksanakan ibadah di bulan suci Ramadhan ini. Satu poin saja lepas dari ibadah kita maka kesia-siaan akan menghiasi perbuatan kita. Ketiga hal di atas juga bias kita terapkan dalam seluruh perbuatan kita, supaya menjadi nilai pahala dengan menjadikannya amal shalih.
Tentu saja dengan cara memahami terlebih dahulu perbuatan tersebut apakah sesuai dengan hukum Islam, kemudian selalu sadar akan hubungan kita dengan Allah pada saat melaksanakannya dan juga kita berusaha meraih nilai perbuatan yang dilakukan. Semua ini membutuhkan pemikiran yang mendalam dan jernih serta dengan kewaspadaan yang penuh agar tidak tergelicir pada kesalahan.
Dari Muhammad Faisal 'Abbas
Disarikan dan diolah dari kitab Mafaahiim Islamiyyah jilid 1 karya Muhammad Husain Abdullah, cetakan 1 tahun 1994-1414 H terbitan Daarul Bayaariq, Bairut Libanon. Hal 58-72

Tidak ada komentar: